OPINI- Kecerdasan buatan (AI) semakin menjadi bagian integral dari kehidupan modern, termasuk demokrasi. Dampaknya terlihat pada Pemilu 2024 di Indonesia, di mana AI generatif, seperti Pemilu.AI, mulai digunakan untuk menganalisis data pemilih, merancang strategi kampanye, hingga menghasilkan konten digital. AI memungkinkan kampanye politik untuk berfokus pada data yang lebih akurat dan personal, namun, tantangan terkait transparansi, akuntabilitas, dan etika menjadi sorotan utama dalam penerapannya.
Bagaimana AI Mempermudah Pengambilan Keputusan ?
Baca juga:
Pledoi Pawang Hujan Mandalika
|
Penggunaan AI memungkinkan pemerintah dan tim kampanye untuk menganalisis data pemilih dengan lebih efektif. Pada Pemilu 2024, Pemilu.AI membantu politisi menargetkan pemilih secara spesifik melalui analisis perilaku pemilih berdasarkan data yang dikumpulkan. Teknologi ini juga menghemat waktu dan sumber daya dalam memproduksi konten digital, seperti pidato, poster, dan iklan. Menlu Retno Marsudi menekankan dalam Third Summit for Democracy bahwa AI harus mendukung demokrasi yang inklusif, aman, dan tidak terfragmentasi, serta memperkuat prinsip-prinsip demokrasi.
Namun, dalam laporan survei Komisi Pemilihan Umum (KPU), terungkap bahwa 68% masyarakat Indonesia mengkhawatirkan privasi data mereka. Hal ini memunculkan isu bahwa AI dapat mengumpulkan dan memproses data pribadi tanpa transparansi yang memadai, meningkatkan kekhawatiran akan penyalahgunaan data dalam kampanye politik.
"Tantangan Transparansi dan Akuntabilitas"
Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan kredibilitas dalam penggunaan AI. Meski demikian, tantangan tetap muncul terkait bagaimana algoritma AI bekerja di balik layar. Menurut Bawaslu, penggunaan algoritma tertutup dalam kampanye politik sering kali membuat pemilih tidak memahami cara pengambilan keputusan, yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Studi kasus Cambridge Analytica adalah contoh konkret bagaimana AI dan data pribadi dapat disalahgunakan untuk manipulasi politik. Skandal yang melibatkan pengumpulan informasi pribadi 87 juta pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica pada tahun 2014. Data ini digunakan untuk memengaruhi pandangan pemegang hak pilih sesuai keinginan politikus yang mengontrak Cambridge Analytica. Setelah kebocoran ini diketahui, Facebook meminta maaf dan mendapat kecaman masyarakat serta penurunan harga saham. Facebook menilai bahwa pengumpulan data oleh Cambridge Analytica "tidak pantas dilakukan". Skandal ini menunjukkan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk menargetkan pemilih dengan informasi yang dipersonalisasi secara berlebihan, menciptakan polarisasi politik dan memperkuat bias yang sudah ada. Dalam Pemilu 2024, risiko serupa dapat muncul jika AI tidak diawasi dengan baik.
"Pengaruh AI Terhadap Partisipasi Publik"
AI juga dapat mengurangi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Sebuah survei tahun 2022 mengungkapkan bahwa 56% masyarakat merasa peran mereka dalam demokrasi berkurang akibat otomatisasi yang disebabkan oleh AI. Hal ini terutama terlihat dalam kebijakan publik yang lebih banyak didasarkan pada data digital yang dikelola oleh AI, meninggalkan kelompok yang kurang akses terhadap teknologi.
Retno Marsudi menegaskan pentingnya menjaga literasi digital untuk mencegah disinformasi yang dihasilkan oleh AI. Deepfakes dan media sintetis yang viral dapat menciptakan ilusi realitas, seperti yang terlihat pada kasus video deepfake Prabowo dan Presiden Jokowi yang tersebar menjelang kampanye. Literasi yang kuat diperlukan agar masyarakat dapat mengenali informasi yang tidak akurat.
"Polarisasi Politik dan Media Sosial"
AI memungkinkan kampanye politik untuk memperkuat polarisasi melalui echo chambers, di mana pemilih hanya terpapar pada informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri. Pada Pemilu 2024, algoritma AI digunakan untuk menargetkan pemilih tertentu dengan konten yang sangat spesifik di media sosial, yang memperkuat pandangan politik yang ada dan mempersempit ruang bagi diskusi yang lebih luas. Hal ini dapat menciptakan masyarakat yang lebih terfragmentasi dan mengurangi keterlibatan dalam debat politik yang sehat.
Langkah-Langkah Mitigasi:
Untuk memitigasi risiko AI dalam proses demokrasi, beberapa langkah penting perlu diambil:
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
1. Transparansi Algoritma.
Pemerintah harus memastikan bahwa algoritma AI yang digunakan dalam pemilu dapat diakses dan dipahami oleh masyarakat umum. Dalam Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2023, ditekankan bahwa AI harus digunakan dengan cara yang transparan dan terbuka, sehingga publik dapat memahami cara pengambilan keputusan.
2. Pengawasan Independen.
Dibutuhkan pengawasan independen untuk mengaudit sistem AI yang digunakan dalam kampanye politik. Pengawasan ini harus mencakup pemantauan bagaimana data pemilih digunakan dan memastikan bahwa AI tidak digunakan untuk manipulasi informasi.
4. Literasi Digital.
Pemerintah, bersama KPU dan Bawaslu, harus meningkatkan literasi digital di kalangan pemilih untuk mengenali potensi disinformasi yang dihasilkan oleh AI, seperti deepfakes dan kampanye palsu. Literasi digital sangat penting untuk menjaga keutuhan informasi dalam demokrasi.
5. Integrasi Kearifan Lokal.
Penggunaan AI dalam demokrasi Indonesia harus menghormati nilai-nilai lokal dan kearifan budaya. Studi menunjukkan bahwa AI yang mempertimbangkan konteks lokal lebih mudah diterima dan menghasilkan keputusan yang inklusif.
Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa Artificial Intellegence (AI) menawarkan potensi besar untuk memperkuat demokrasi melalui pengambilan keputusan yang lebih efisien dan berbasis data. Namun, risiko terkait privasi, transparansi, dan partisipasi publik harus diatasi dengan regulasi yang kuat, seperti yang dijabarkan dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023. AI harus mendukung demokrasi yang lebih inklusif, bukan melemahkannya, sebagaimana ditekankan oleh Menlu Retno Marsudi di forum internasional. Dengan pengawasan yang tepat dan pemahaman yang kuat, AI dapat menjadi alat yang memperkuat demokrasi Indonesia di masa depan.
Barru 08 September 2024
Baca juga:
Kesehatan Mental Tanggung Jawab Bersama
|
Opini Mencerdaskan Anak Bangsa Oleh Dr. Kasmiah Ali, S.Sos., M.A.P